Tanggamus, Transsumatera – Satgas Covid-19 Tanggamus dan Kabupaten Tanggamus dapatkan hadiah tahun baru 2021 dengan status zona merah Covid-19.

Hal itu sangat miris karena di Lampung hanya Tanggamus yang zona merah. Sebab Bandar Lampung yang dua kali zona merah berhasil keluar dari kondisi terparah itu dan berhasil masuk zona orange.

Kini tinggal Tanggamus yang terpuruk dengan sporadis penyebaran Covid-19 di mana-mana. Di dalamnya disertai dengan kasus kematian yang terus bertambah.

Menurut Juru Bicara Gugus Tugas Covid-19 Tanggamus dr Eka Priyanto, pada 7 Januari 2021 jumlah kasus sudah tercatat 372 kasus. Terdiri 53 orang berstatus pasien, 18 kematian, dan untungnya 301 orang sembuh dari Covid-19.Kamis (7/1/2021).

Bandingkan dengan sebulan lalu, yakni 7 Desember 2020. Saat itu angka kasus tercatat masih di angka 172 kasus, terdiri 26 orang berstatus pasien, 140 orang sembuh dan 6 kematian akibat Covid-19.

Maka pergerakan jumlah kasus meningkat drastis dalam satu bulan, yakni 200 kasus. Jumlah kematian 12 kasus. Pasien sembuh ada 161 orang, sayang, masih lebih banyak pertumbuhan kasusnya.

Lantas mengapa jumlah kasus, jumlah kematian begitu gesit muncul dan bertambahnya sebulan terakhir?

Covid-19 adanya penyakit menular yang penularannya langsung antar manusia. Maka semakin banyak manusia semakin tinggi penularannya. Terlebih jika mengabaikan protokol kesehatan.

Itulah penyebab di kota besar cenderung tinggi kasus Covid-19. Sedangkan Tanggamus bukanlah daerah padat penduduk. Beberapa daerah di dalamnya pun belum bisa disetarakan kota besar, hanya kota kecil.

Namun siapa sangka dari kota kecil, kabupaten tidak padat penduduk, jumlah kasus Covid-19 cepat meninggi. Bagai menyusul Gunung Tanggamus yang juga ikon daerah.

Itu bisa terjadi karena dalam bulan Desember terselenggara pemilihan kepala pekon (pilkakon) serentak, tepatnya 16 Desember 2020. Dan ada 220 pilkakon pada hari itu.

Tanpa disadari pesta demokrasi tingkat pekon itu timbulkan keramaian luar biasa. Khususnya saat perhitungan suara. Hampir di tiap pekon muncul kerumunan orang, berkumpul di satu titik yakni tempat pemungutan suara (TPS) induk.

Tempat itu jadi magnet kuat mengumpulkan orang, melalaikan mereka dengan protokol kesehatan. Tanpa masker, tanpa jaga jarak, riuh, saling lontar sorak-sorai.

Saat itulah tanpa disadari semburan droplet Covid-19 mudah menyebar, menempel di mana-mana, akhirnya terisap dan masuk ke tubuh.

Sebenarnya bukan momentum itu saja penyebaran Covid-19 terjadi. Sebab sebelum pilkakon, telah ada perkumpulan orang di rumah calon-calon kakon. Kondisinya pun sama, tanpa masker, tanpa jaga jarak, tanpa rutin cuci tangan.

Potensi penyebaran Covid-19 di pilkakon pun bertambah, dengan kedatangan masyarakat perantau yang pulang kampung untuk mencoblos. Mereka yang miliki saudara calon kakon tentu paksakan pulang demi mendulang suara.

Kerumunan orang, mobilitas orang itulah yang sebarkan Covid-19. Akhirnya bersemai dan panen kasus pada dua pekan setelah pilkakon, yakni antara akhir Desember sampai awal Januari.

Dampak itu tidak diperhitungkan. Penyebabnya tidak dicegah, dan saat ada di mana-mana pun tidak dibubarkan oleh Satuan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Covid-19 Tanggamus.

Pelaksanaan protokol kesehatan hanya saat sebelum pencoblosan, selesai itu selesai juga protokolnya, merebaklah penyebarannya.

Maka diketahuilah tugas persekutuan Pemda dan Forkopimda dalam Satuan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Covid-19 hanya sosialisasi.

Kini berat rasanya hanya andalkan edukasi 3M, sebab Covid-19 sudah berspora dan berklaster di mana-mana. Akibat pilkakon buru-buru, tanpa pertimbangan, tanpa antisipasi jika zona merah sendiri.(Chandra)

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

%d blogger menyukai ini: